Sabtu, 11 Mei 2013

KAMPUNG MAHMUD


Kampung Adat di Kelokan Sungai

Jika Anda berjalan-jalan menyusuri Sungai Citarum, masuk ke daerah Cilampeni menuju Curug Jompong, mampirlah ke Kampung Mahmud, sebuah kampung  kecil yang terletak di salah satu kelokan Sungai Citarum yang kini sudah diluruskan.
Kampung Mahmud secara administratif masih masuk ke dalam wilayah Desa Mekarrahayu, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung.
Ciri tanda masuk kampung  ini adalah papan nama “Makom Mahmud”.
Yang menjadi ciri khas desa ini adalah sebagian besar bangunan rumah warganya terbuat dari bambu dan bentuknya masih berupa rumah panggung. Menurut sumber-sumber literatur yang ada, hal ini merupakan bagian dari adat dari kampung  ini, yaitu melarang masyarakatnya membuat bangunan dari tembok, memelihara binatang ternak seperti kambing dan angsa.
Namun Kampung Mahmud saat ini berbeda. Di sana-sini terdapat bangunan bertembok bata. Binatang ternak seperti kambing pun terlihat di desa ini.
Kampung Mahmud, dengan penduduk sekitar 200 kepala keluarga dengan luas daerah sekitar 4 hektar, terdapat makam-makam tokoh agama dan pendiri kampung  Mahmud. Sehingga kampung  ini ramai dikunjungi oleh pengunjung untuk berziarah, terutama di malam Jumat, atau di hari-hari besar umat Islam lainnya.
Konon, pendiri Kampung Mahmud, Embah Eyang Abdul Manaf, masih keturunan Syarif Hidayatullah, seorang wali yang berasal dari Cirebon. Nama Mahmud, menurut cerita, diambil dari nama tempat ketika Embah Eyang Abdul Manaf naik haji ke Mekkah.
Menurut cerita turun temurun, segenggam tanah yang dibawa beliau dari Mekkah mengubah rawa yang terletak di belakang kampung  ini menjadi lahan kering, sehingga dapat dibangun permukiman warga hingga sekarang.
Dede (38 tahun), seorang warga Kampung Mahmud yang ditemui sedang mengerjakan sawahnya mengatakan di belakang kampung  ini terdapat hutan yang menurut adat Sunda adalah hutan larangan. Hutan larangan adalah kearifan setempat untuk menjaga kelestarian lingkungan dengan menetapkan daerah-daerah yang dilindungi, dimana pohon tidak boleh ditebang dan binatang tidak boleh diburu.
    Senyum anak - anak Kampung Muhmud  Bekas sungai Citarum yang masih digunakan
“Tapi sejak jaman Belanda pun, hutan larangan ini sudah ditebang dan berubah menjadi kebun” kata Dede.
Pada tahun 2000, Sungai Citarum yang mengalir melalui kampung  Mahmud ini diluruskan. Bekas sungai Citarum lama masih dapat ditemui di belakang kampung  ini. Airnya relatif masih bersih dibandingkan dengan Sungai Citarum baru.
“Dulu warga menggunakan Sungai Citarum untuk mandi, cuci dan mengambil air untuk minum dan memasak. Ketika mulai banyak limbah, warga tidak berani memakai air sungai, maka di kampung  ini warga menggunakan sumur tanah.” Cerita Dede.
Sungai Citarum lama masih dimanfaatkan warga kampung  untuk memancing dan beternak ikan. Pohon-pohon bambu di sekitar sungai lama memberikan keteduhan sehingga kegiatan memancing atau sekedar bersantai sering dilakukan bukan saja oleh warga kampong, namun juga masyarakat pengunjung.
Gambaran kehidupan relijius terlihat dari penampilan warga Kampung Mahmud. Terlihat rata-rata kaum laki-laki menggunakan sarung dan baju koko untuk beraktivitas, sedangkan kaum perempuannya menggunakan penutup kepala seperti selendang atau jilbab.
Untuk pekerjaan sehari-hari, mayoritas penduduk kampung  bekerja sebagai petani. Usaha pembuatan mebel dari kayu pun terlihat di berbagai sudut kampung.
Sayangnya ketika mengunjungi Kampung Mahmud, para tetua yang memahami sejarah kampung ini sedang tidak berada di tempat, sehingga keingintahuan lebih jauh mengenai asal usul dan adat istiadat kampung apik di kelokan Sungai Citarum ini terpaksa harus ditunda di lain waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar